https://drive.google.com/drive/u/1/my-drive
Sunday, March 31, 2019
Monday, August 6, 2018
Panel bersama Prof.Dr.Ir. Suhardjono, Dipl.HE,M.Pd.
Panel bersama Prof.Dr.Ir. Suhardjono,
Dipl.HE,M.Pd.
Dalam acara Bimtek Penilaian Kinerja Guru dan
Pegembangan Keprofesian Berkelanjutan Bagi Guru Yang Diberi Tugas Tambahan Sebagai
Kepala Sekolah d i Bromo View Hotel Probolinggo
Saturday, August 4, 2018
Pembelajaran Kooperatif Berjenjang Pada Kelas Heterogen
Abstraks
Indikator keberhasilan belajar matematika di sekolah sangat ditentukan oleh ketepatan strategi, metode, dan pendekatan mengajar yang di gunakan oleh guru. Untuk menentukan strategi, metode, dan pendekatan yang tepat, guru harus merenacanakan pembelajarannya selain didasarkan pada teori belajar tetapi juga harus didasarkan pada karakteristik matematika yang akan diajarkan dan karakteristik siswa yang akan menerima materi pelajaran. Strategi Belajar Kooperatif Berjenjang merupakan sebuah alternatif untuk mengatasi kemajemukan karakteristik siswa yang belajar dalam satu kelas yang apabila dilakukan pembelajaran secara klasikal akan membuat guru berada pada posisi yang sangat sulit (dilematis), antara mengikuti siswa yang berada pada level pandai atau tetap bersabar membimbing siswa yang berada pada level bawah.Kata Kunci: Strategi Belajar Kooperatif Berjenjang
Pendahuluan
Matematika merupakan satu pelajaran yang memiliki karakteristik berbeda dengan pelajaran lainnya dan paling banyak tidak disukai siswa apalagi jika pembelajarannya disajikan dengan cara yang monoton; ceramah, contoh–contoh soal, kemudian latihan soa–soal dan evaluasi, hal ini dapat dilihat dari ekspresi siswa yang sering mengeluh dan merasa bosan. Oleh sebab itu hasil evaluasi belajar matematika secara umum masih rendah bila dibandingkan dengan hasil evaluasi mata pelajaran yang lainnya. Hal ini menunjukkan suatu kegagalan dalam proses pembelajaran yang harus dicarikan solusinya. Rendahnya pencapaian hasil belajar matematika siswa SMP tersebut salah satu faktor penyebabnya adalah pembelajaran yang kurang efektif (Sunardi, 2002). Padahal pembelajaran matematika bertujuan untuk melatih siswa cara berfikir dan bernalar, mengembangkan aktifitas kreatif, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi dan mengkomunakasikan gagasan (Nur, 2003). Sekurang–kurangnya ada tiga variabel yang menyebabkan kegagalan pada pembelajaran matematika. Pertama; karakteristik matematika itu sendiri yang sampai saat ini masih belum ada kesepakatan definisi apa itu matematika?. Matematika merupakan bahasa atau lambang yang baru mempunyai makna setelah diinterpretasikan. Soedjadi dalam Sunardi (2002) menjelaskan; karakteristik matematika di antaranya adalah: (a) memiliki kajian abstrak; (b) bertumpu pada kesepakatan–kesepakatan; (c) berpola pikir deduktif; (d) memiliki simbul yang kosong dari arti; (e) memperhatikan semesta pembicaraan; dan (f) konsisten dalam sistemnya. Kedua; siswa banyak yang sudah terbentuk opini bahwa matematika itu adalah pelajaran yang sulit dipelajari, dan ketiga; adalah guru yang tidak sabar dan kurang kreatif dalam mengemas pembelajaran matematika serta merasa kesulitan dalam pengelolaan kelas yang berkenaan dengan strategi pembelajaran dan tehnik mengevaluasi, terutama jika dihadapkan pada sebuah kelas yang siswanya berjumlah besar dan heterogen.Dari ketiga variabel tersebut yang paling besar pengaruhnya adalah guru yang kurang kreatif. Dengan demikian seorang guru harus dapat memilih pendekatan pembelajaran matematika yang cocok dengan karakteristik materi yang akan disajikan dengan karakteristik siswa yang akan menerima materi pembelajaran (Sunardi, 2002) sebagimana tuntutan professional seorang guru. Guru yang profesional harus dapat menyajikan Proses Belajar Mengajar yang praktis, sistematis, mudah diterima, dan menarik atau menyenangkan bagi siswa serta memiliki kompetensi pedagogik. Menurut UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi pedagogik meliputi kemampuan merancang, mengelola, dan menilai pembelajaran serta memanfaatkan hasil–hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Disamping itu, guru yang berkompetensi pedagogik, adalah mereka yang memahami teori Teknologi Pembelajaran dan mampu menerapkannya dalam praktik pembelajarannya (Suhardjono, 2007: 5).
Rumusan Masalah atau Topik Bahasan
Tujuan Penulisan Artikel
Secara umum tujuan penulisan artikel ini dimaksudkan untuk memaparkan strategi belajar kooperatif berjenjang pada pembelajaran matematika di kelas hetrogen dan yang berhubungan dengannnya. Sedangkan secara khusus tujuannya adalah bagi penulis sendiri merupakan sebuah amal ibadah serta ingin meningkatkan mutu pembelajaran matematika. Bagi pembaca penulisan artikel ini kiranya dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam upaya memperbaiki cara belajar siswa melalui strategi pembelajaran kooperatif berjenjang.
Teori Belajar
Dalam sejarah perkembangan psikologi, banyak teori yang membahas tentang perubahan tingkah laku dengan persepsi berbeda–beda sesuai argumentasinya masing–masing. Namun secara garis besar teori perubahan tingkah laku yang berkembang berpangkal dari pandangan tentang filsafat manusia dalam perspektif John Locke dengan teori tabularasa-nya dan dalam perspektif Leibniz yang menganggap manusia adalah suatu organisme yang aktif. Dari pandangan yang mendasar tentang hakekat manusia ini muncul teori psikologi belajar ke dalam dua aliran, yaitu: teori belajar behavioristik–elementeristik dan teori belajar kognitif–holistik atau teori konstruktivisme.
Teori behavioristik juga dinamakan teori Stimulus–Respons (S-R) karena, menurut aliran behavioristik; belajar pada hakekatnya adalah pembentukan asosiasi antara ”kesan” yang ditangkap panca indera (stimulus) dengan ”kecenderungan” untuk bertindak (respons).
Konstruktivisme beranggapan pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan (Suparno, 1997: 28).
Pieget menerangkan bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas) yaitu kumpulan skema–skema. Sitmulus–respons dapat bekerja dengan baik karena bekerjanya skema–skema ini. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pula stimulus–respons–nya. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru melalui proses asimilasi yaitu, pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk dan melalui proses adaptasi yaitu, proses pengintegrasian secara tidak langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk (Suherman, 1993: 164). Proses asimilasi dan akomodasi diperlukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi disebut equilibrium, yakni pengaturan secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 32).
Bagi teori konstruktivistik belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan (Degeng, 2007: 3). Menurut Bruner; belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan pada konsep–konsep dan struktur–struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep–konsep dan struktur–struktur (Suherman, 1993: 174–176).
Hilgard dalam Sanjaya (2007: 110) mengungkapkan: ”Learning is the process by wich an activity originates or changed through training procedures (wether in the laboratory or in the natural environment ) as distinguished from changes by factors not attributable to training.” Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah.
Belajar bukan sekedar mengumpulkan pengetahuan, fakta–fakta, dalil–dalil, rumus–rumus, algoritma, dan yang sejenisnya. Tetapi belajar merupakan suatu proses mental yang terjadi dalam diri seseorang. Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhannya, dengan demikian pengertian belajar dapat didefinisikan: ”Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” (Slameto, 2003:2).
Belajar bukan suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2003:29). Proses belajar pada hakekatnya merupakan kegiatan mental sehingga, bukti yang dapat disaksikan bahwa seseorang telah belajar adalah adanya gejala–gejala perubahan prilaku (Hamalik, 2003:29).
Dengan demikian belajar adalah merupakan sebuah proses pada diri seseorang untuk mencapai perubahan prilaku di masa yang akan datang dari hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Strategi, Metode, dan Pendekatan Pembelajaran
Pada mulanya strategi digunakan dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan. Dalam dunia pendidikan J.R. David (1976) mengartikan strategi sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal. Dengan demikian strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Metode adalah upaya mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Sehingga dalam satu strategi pembelajaran digunakan beberapa metode pembelajarn.
Strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mecapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksakan strategi. Dengan kata lain strategi adalah a plan of operation achieving something; sedangkan metode adalah a way in achieving samething.
Pendekatan atau approach berbeda dengan strategi dan metode. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Strategi dan metode pembelajaran yang akan digunakan tergantung dari pendekatan yang mana yang akan digunakan.
Menurut Roy Killen (1998) dalam Sanjaya (2007) terdapat dua jenis pendekatan dalam pembelajaran, yaitu: pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches). Pendekatan belajar yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction) dan pembelajaran deduktif atau ekspositori. Sedangkan pendekatan belajar yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery, inquiry, dan strategi pembelajaran induktif.
Selain strategi, metode, dan pendekatan pembelajaran, terdapat juga istilah lain yang sulit dibedakan, yaitu: teknik dan taktik mengajar. Teknik dan taktik mengajar merupakan penjabaran dari metode pembelajaran. Teknik adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu metode. Dan taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu (Sanjaya, 2007: 124–125).
Strategi Pembelajaran Kooperatif Berjenjang
Strategi pembelajaran kooperatif berjenjang di sini adalah suatu siasat atau perencanaan pembelajaran yang bertujuan untuk merubah keadaan pembelajaran siswa kepada keadaan pembelajaran yang diinginkan oleh guru dengan cara belajar kelompok yang berjenjang dengan pendekatan cara belajar siswa aktif ( CBSA ) melalui tutor sebaya atau peer teaching.
Di sini guru bertindak sebagai fasilitator untuk mengembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan, mengembangkan hubungan interpersonal dan iklim sosioemosional yang positif, serta mengembangkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif dan produktif.
Strategi belajar kooperatif berjenjang ini penulis adopsi dari model penjualan atau pemasaran berjenjang yang lebih popular dengan Multi Level Marketing ( MLM ) dimana komisi atau insentif ditetapkan oleh perusahaan secara berjenjang sesuai dengan jumlah nilai penjualan ( volume point ) atau seorang anggota untuk mendapatkan sebuah komisi atau jenjang karier ditentukan oleh prestasinya dalam memasarkan product serta mengembangkan jaringan pemasaran atau mencari down line ( Harefa, 1999 ), sehingga kegiatan pembelajaran dapat tersaji lebih interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik sehingga ketuntasan belajar siswa dapat tercapai (PP No.19 Pasal 1 Ayat 1) karena memperoleh pengalaman baru dalam belajar dan memanfaatkan bahasa antar siswa ( tutor sebaya ) yang lebih komunikatif.
Dalam strategi pembelajarn kooperatif berjenjang ini terdiri dari empat tahap atau empat langkah yang harus dilalui, yaitu: (1) Penjenjangan siswa ke dalam tingkatan atau level, (2) Pengorganisasian siswa ke dalam kelompok belajar, (3) Kegiatan inti pembelajaran, dan (4) Evaluasi dan penghargaan. Secara operasional adalah sebagai berikut:
(1) Penjenjangan siswa ke dalam tingkatan atau level
Pada tahap penjenjangan ini adalah menentukan tingkatan atau level siswa menjadi tiga tingkatan, yaitu: tingkat atas atau pandai, sedang, dan bawah. Penjenjangan siswa dapat dilakukan dengan cara mengadakan tes awal ( pre test ) melalui tes tulis atau tanya jawab. Juga dapat dilakukan melalui pemetaan kelas apabila data siswa sudah diketahui sebelumnya.
(2) Pengorganisasian siswa ke dalam kelompok belajar
Pada tahap pengorganisasian ini adalah mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok atau jaringan belajar, satu kelompok belajar idealnya terdiri dari tujuh orang siswa, yaitu: satu orang dari level pandai, dua orang dari level sedang, dan empat orang dari level bawah, namun jika tidak memungkinkan jumlah satu kelompok belajar dapat disesuaikan dengan keadaan siswa di kelas.
(3) Kegiatan inti pembelajaran
Pada tahap ini setelah siswa diorganisasikan menjadi beberapa kelompok belajar, guru memulai pelajarannya dengan memberikan permasalahan pembelajaran melalui soal-soal yang harus dikerjakan atau dengan LKS kemudian dengan metode ceramah memberikan penjelasan seperlunya yang berkenaan dengan permasalahan dalam pembelajaran atau aturan pembelajaran yang akan dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok, pada saat yang bersamaan atau pada saat diskusi kelompok berlangsung, siswa yang berada pada level pandai dari tiap-tiap kelompok berkumpul untuk mendapatkan bimbingan langsung dari guru kemudian kembali kepada kelompoknya untuk membimbing dua orang temannya yang berada pada level sedang. Pada saat ini guru memantau jalannya bimbingan antar siswa dalam kelompoknya sedangkan siswa pada level bawah tetap melanjutkan diskusi atau pekerjaannya.
Setelah proses bimbingan dari siswa level pandai pada dua orang siswa level sedang dilanjutkan dengan satu orang siswa yang berada pada level sedang membimbing dua orang temannya yang berada pada level bawah. Pada saat yang bersamaan ini siswa level pandai kembali pada guru untuk konsolidasi masalah yang baru saja ditemui atau untuk evaluasi, atau mendapatkan materi pengayaan.
Pada tahap kegiatan inti ( pembelajaran kooperatif berjenjang ) ini yang sangat perlu diperhatikan adalah alokasi dan efisiensi waktu yang tersedia harus diatur seefektif mungkin agar pelaksanaannya dapat berjalan sesuai dengan skenario yang diharapkan. Tugas guru pada saat ini selain sebagai fasilitator ibaratkan bagai seorang wasit sebuah pertandingan yang ditentukan oleh waktu. Guru dapat memanfaatkan sebuah pluit atau sarana lainnya untuk menandai berakhirnya atau pergantian satu pase kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan bimbingan dari siswa terhadap siswa level di bawahnya atau dari up line terhadap down line.
Secara normatif kegiatan belajar mengajar dilaksanakan adalah sesuai dengan waktu jadwal pelajaran yang tersedia dan dilaksanakan di dalam kelas. Namun strategi pembelajaran kooperatif berjenjang ini waktu dan pelaksanakannya sangat fleksibel, bisa dilaksanakan di dalam kelas dan di luar kelas sesuai jadwal yang tersdia atau pada waktu yang lain, misalkan waktu istirahat dapat memanfaatkan siswa bermain sambil belajar, bahkan jika kelompok belajarnya sudah solid pembelajaran kooperatif berjenjang ini dapat dilaksanakan di luar sekolah tanpa pantauan seorang guru. Sehingga guru hanya melayani konsultasi dari siswa yang mengalami kesulitan.Secara hirarki pembelajaran dengan strategi belajar kooperatif berjenjang dapat ditunjukkan pada diagram berikut ini:
Alternatif pelaksanaan evaluasi dalam strategi pembelajaran kooperatif berjenjang ini dapat dilakukan secara individual dan kelompok ( team work ) pada waktu yang sangat fleksibel kapan dan di mana guru dan siswa ada kesepakatan untuk mengadakan evaluasi.
Penghargaan terhadap hasil belajar siswa adalah hal yang tak dapat terpisahkan dari kegiatan evaluasi atau penilaian. Penghargaan dapat diberikan secara individual dan kelompok yang didasarkan pada prinsip perubahan tingkah laku ( behavioral modification ), karena semua tingkah laku adalah hasil belajar.
Untuk mengetahui hasil belajar siswa secara individu dapat dilaksanakan secara klasikal sebagaiman pada umumnya penilaian dilakukan atau pada saat bimbingan atau di waktu yang lain dengan atandar ketuntasan minimal yang sama. Akan tetapi untuk memberikan skor penilaian kerja kelompok dalam strategi belajar kooperatif berjenjang berbeda dengan cara menilai kerja kelompok sebagaimana biasanya dengan cara memberikan nilai yang sama dalam satu kelompok.
Untuk mengevaluasi hasil belajar kelompok pada strategi belajar kooperatif berjenjang harus disiapkan alat ukur atau soal tiga tingkatan; soal mudah, sedang, dan sulit atau lebih kompleks. Soal mudah untuk mengevaluasi siswa level bawah, soal sedang untuk mengevaluasi siswa level sedang, dan soal sulit untuk mengevaluasi siswa level pandai.
Cara penskorannya atau penilaiannya adalah jika siswa yang berada pada level bawah ( sebagai down line ) tuntas maka siswa yang berada pada level sedang dan level pandai ( sebagai up line ) berhak mendapatkan tambahan skor, jika siswa yang berada pada level sedang ( sebagai down line ) tuntas maka siswa yang berada pada level pandai ( sebagai up line ) berhak mendapatkan tambahan skor. Namun jika sebaliknya siswa yang berada pada level bawah atau sedang belum tuntas maka siswa yang berada pada level setingkat di atasnya memberikan bimbingan perbaikan.
Kelebihan mengevaluasi model evaluasi pada strategi belajar kooperatif berjenjang ini adalah:
Menumbuhkan motivasi dalam belajar sangat penting karena motivasi merupakan bagian integral untuk mencapai tujuan pembelajaran. Prayitno (1989) menyatakan bahwa betapapun baiknya potensi anak yang meliputi kemampuan intelektual atau materi yang akan diajarkan dan lengkapnya sarana belajar, namun bila siswa tidak termotivasi dalam belajar, maka belajar tidak akan berlangsung secara optimal. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik.
Prosedur Penelitian
Siklus I
Perencanaan ( Plane )
Perencanaan tindakan sebagai berikut:
1) Mengumpulkan data melalui observasi;
2) Menganalisa data;
3) Merumuskan langkah-langkah tindakan atau Rencana Program Pembelajaran ( RPP ).
Pelaksanaan Tndakan ( Action )
Teori Belajar
Dalam sejarah perkembangan psikologi, banyak teori yang membahas tentang perubahan tingkah laku dengan persepsi berbeda–beda sesuai argumentasinya masing–masing. Namun secara garis besar teori perubahan tingkah laku yang berkembang berpangkal dari pandangan tentang filsafat manusia dalam perspektif John Locke dengan teori tabularasa-nya dan dalam perspektif Leibniz yang menganggap manusia adalah suatu organisme yang aktif. Dari pandangan yang mendasar tentang hakekat manusia ini muncul teori psikologi belajar ke dalam dua aliran, yaitu: teori belajar behavioristik–elementeristik dan teori belajar kognitif–holistik atau teori konstruktivisme.
Teori behavioristik juga dinamakan teori Stimulus–Respons (S-R) karena, menurut aliran behavioristik; belajar pada hakekatnya adalah pembentukan asosiasi antara ”kesan” yang ditangkap panca indera (stimulus) dengan ”kecenderungan” untuk bertindak (respons).
Konstruktivisme beranggapan pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan (Suparno, 1997: 28).
Pieget menerangkan bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas) yaitu kumpulan skema–skema. Sitmulus–respons dapat bekerja dengan baik karena bekerjanya skema–skema ini. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pula stimulus–respons–nya. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru melalui proses asimilasi yaitu, pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk dan melalui proses adaptasi yaitu, proses pengintegrasian secara tidak langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk (Suherman, 1993: 164). Proses asimilasi dan akomodasi diperlukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi disebut equilibrium, yakni pengaturan secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 32).
Bagi teori konstruktivistik belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan (Degeng, 2007: 3). Menurut Bruner; belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan pada konsep–konsep dan struktur–struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep–konsep dan struktur–struktur (Suherman, 1993: 174–176).
Hilgard dalam Sanjaya (2007: 110) mengungkapkan: ”Learning is the process by wich an activity originates or changed through training procedures (wether in the laboratory or in the natural environment ) as distinguished from changes by factors not attributable to training.” Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah.
Belajar bukan sekedar mengumpulkan pengetahuan, fakta–fakta, dalil–dalil, rumus–rumus, algoritma, dan yang sejenisnya. Tetapi belajar merupakan suatu proses mental yang terjadi dalam diri seseorang. Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhannya, dengan demikian pengertian belajar dapat didefinisikan: ”Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” (Slameto, 2003:2).
Belajar bukan suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2003:29). Proses belajar pada hakekatnya merupakan kegiatan mental sehingga, bukti yang dapat disaksikan bahwa seseorang telah belajar adalah adanya gejala–gejala perubahan prilaku (Hamalik, 2003:29).
Dengan demikian belajar adalah merupakan sebuah proses pada diri seseorang untuk mencapai perubahan prilaku di masa yang akan datang dari hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Strategi, Metode, dan Pendekatan Pembelajaran
Pada mulanya strategi digunakan dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan. Dalam dunia pendidikan J.R. David (1976) mengartikan strategi sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal. Dengan demikian strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Metode adalah upaya mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Sehingga dalam satu strategi pembelajaran digunakan beberapa metode pembelajarn.
Strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mecapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksakan strategi. Dengan kata lain strategi adalah a plan of operation achieving something; sedangkan metode adalah a way in achieving samething.
Pendekatan atau approach berbeda dengan strategi dan metode. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Strategi dan metode pembelajaran yang akan digunakan tergantung dari pendekatan yang mana yang akan digunakan.
Menurut Roy Killen (1998) dalam Sanjaya (2007) terdapat dua jenis pendekatan dalam pembelajaran, yaitu: pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches). Pendekatan belajar yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction) dan pembelajaran deduktif atau ekspositori. Sedangkan pendekatan belajar yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery, inquiry, dan strategi pembelajaran induktif.
Selain strategi, metode, dan pendekatan pembelajaran, terdapat juga istilah lain yang sulit dibedakan, yaitu: teknik dan taktik mengajar. Teknik dan taktik mengajar merupakan penjabaran dari metode pembelajaran. Teknik adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu metode. Dan taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu (Sanjaya, 2007: 124–125).
Strategi Pembelajaran Kooperatif Berjenjang
Strategi pembelajaran kooperatif berjenjang di sini adalah suatu siasat atau perencanaan pembelajaran yang bertujuan untuk merubah keadaan pembelajaran siswa kepada keadaan pembelajaran yang diinginkan oleh guru dengan cara belajar kelompok yang berjenjang dengan pendekatan cara belajar siswa aktif ( CBSA ) melalui tutor sebaya atau peer teaching.
Di sini guru bertindak sebagai fasilitator untuk mengembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan, mengembangkan hubungan interpersonal dan iklim sosioemosional yang positif, serta mengembangkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif dan produktif.
Strategi belajar kooperatif berjenjang ini penulis adopsi dari model penjualan atau pemasaran berjenjang yang lebih popular dengan Multi Level Marketing ( MLM ) dimana komisi atau insentif ditetapkan oleh perusahaan secara berjenjang sesuai dengan jumlah nilai penjualan ( volume point ) atau seorang anggota untuk mendapatkan sebuah komisi atau jenjang karier ditentukan oleh prestasinya dalam memasarkan product serta mengembangkan jaringan pemasaran atau mencari down line ( Harefa, 1999 ), sehingga kegiatan pembelajaran dapat tersaji lebih interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik sehingga ketuntasan belajar siswa dapat tercapai (PP No.19 Pasal 1 Ayat 1) karena memperoleh pengalaman baru dalam belajar dan memanfaatkan bahasa antar siswa ( tutor sebaya ) yang lebih komunikatif.
Dalam strategi pembelajarn kooperatif berjenjang ini terdiri dari empat tahap atau empat langkah yang harus dilalui, yaitu: (1) Penjenjangan siswa ke dalam tingkatan atau level, (2) Pengorganisasian siswa ke dalam kelompok belajar, (3) Kegiatan inti pembelajaran, dan (4) Evaluasi dan penghargaan. Secara operasional adalah sebagai berikut:
(1) Penjenjangan siswa ke dalam tingkatan atau level
Pada tahap penjenjangan ini adalah menentukan tingkatan atau level siswa menjadi tiga tingkatan, yaitu: tingkat atas atau pandai, sedang, dan bawah. Penjenjangan siswa dapat dilakukan dengan cara mengadakan tes awal ( pre test ) melalui tes tulis atau tanya jawab. Juga dapat dilakukan melalui pemetaan kelas apabila data siswa sudah diketahui sebelumnya.
(2) Pengorganisasian siswa ke dalam kelompok belajar
Pada tahap pengorganisasian ini adalah mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok atau jaringan belajar, satu kelompok belajar idealnya terdiri dari tujuh orang siswa, yaitu: satu orang dari level pandai, dua orang dari level sedang, dan empat orang dari level bawah, namun jika tidak memungkinkan jumlah satu kelompok belajar dapat disesuaikan dengan keadaan siswa di kelas.
(3) Kegiatan inti pembelajaran
Pada tahap ini setelah siswa diorganisasikan menjadi beberapa kelompok belajar, guru memulai pelajarannya dengan memberikan permasalahan pembelajaran melalui soal-soal yang harus dikerjakan atau dengan LKS kemudian dengan metode ceramah memberikan penjelasan seperlunya yang berkenaan dengan permasalahan dalam pembelajaran atau aturan pembelajaran yang akan dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok, pada saat yang bersamaan atau pada saat diskusi kelompok berlangsung, siswa yang berada pada level pandai dari tiap-tiap kelompok berkumpul untuk mendapatkan bimbingan langsung dari guru kemudian kembali kepada kelompoknya untuk membimbing dua orang temannya yang berada pada level sedang. Pada saat ini guru memantau jalannya bimbingan antar siswa dalam kelompoknya sedangkan siswa pada level bawah tetap melanjutkan diskusi atau pekerjaannya.
Setelah proses bimbingan dari siswa level pandai pada dua orang siswa level sedang dilanjutkan dengan satu orang siswa yang berada pada level sedang membimbing dua orang temannya yang berada pada level bawah. Pada saat yang bersamaan ini siswa level pandai kembali pada guru untuk konsolidasi masalah yang baru saja ditemui atau untuk evaluasi, atau mendapatkan materi pengayaan.
Pada tahap kegiatan inti ( pembelajaran kooperatif berjenjang ) ini yang sangat perlu diperhatikan adalah alokasi dan efisiensi waktu yang tersedia harus diatur seefektif mungkin agar pelaksanaannya dapat berjalan sesuai dengan skenario yang diharapkan. Tugas guru pada saat ini selain sebagai fasilitator ibaratkan bagai seorang wasit sebuah pertandingan yang ditentukan oleh waktu. Guru dapat memanfaatkan sebuah pluit atau sarana lainnya untuk menandai berakhirnya atau pergantian satu pase kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan bimbingan dari siswa terhadap siswa level di bawahnya atau dari up line terhadap down line.
Secara normatif kegiatan belajar mengajar dilaksanakan adalah sesuai dengan waktu jadwal pelajaran yang tersedia dan dilaksanakan di dalam kelas. Namun strategi pembelajaran kooperatif berjenjang ini waktu dan pelaksanakannya sangat fleksibel, bisa dilaksanakan di dalam kelas dan di luar kelas sesuai jadwal yang tersdia atau pada waktu yang lain, misalkan waktu istirahat dapat memanfaatkan siswa bermain sambil belajar, bahkan jika kelompok belajarnya sudah solid pembelajaran kooperatif berjenjang ini dapat dilaksanakan di luar sekolah tanpa pantauan seorang guru. Sehingga guru hanya melayani konsultasi dari siswa yang mengalami kesulitan.Secara hirarki pembelajaran dengan strategi belajar kooperatif berjenjang dapat ditunjukkan pada diagram berikut ini:
Alternatif pelaksanaan evaluasi dalam strategi pembelajaran kooperatif berjenjang ini dapat dilakukan secara individual dan kelompok ( team work ) pada waktu yang sangat fleksibel kapan dan di mana guru dan siswa ada kesepakatan untuk mengadakan evaluasi.
Penghargaan terhadap hasil belajar siswa adalah hal yang tak dapat terpisahkan dari kegiatan evaluasi atau penilaian. Penghargaan dapat diberikan secara individual dan kelompok yang didasarkan pada prinsip perubahan tingkah laku ( behavioral modification ), karena semua tingkah laku adalah hasil belajar.
Untuk mengetahui hasil belajar siswa secara individu dapat dilaksanakan secara klasikal sebagaiman pada umumnya penilaian dilakukan atau pada saat bimbingan atau di waktu yang lain dengan atandar ketuntasan minimal yang sama. Akan tetapi untuk memberikan skor penilaian kerja kelompok dalam strategi belajar kooperatif berjenjang berbeda dengan cara menilai kerja kelompok sebagaimana biasanya dengan cara memberikan nilai yang sama dalam satu kelompok.
Untuk mengevaluasi hasil belajar kelompok pada strategi belajar kooperatif berjenjang harus disiapkan alat ukur atau soal tiga tingkatan; soal mudah, sedang, dan sulit atau lebih kompleks. Soal mudah untuk mengevaluasi siswa level bawah, soal sedang untuk mengevaluasi siswa level sedang, dan soal sulit untuk mengevaluasi siswa level pandai.
Cara penskorannya atau penilaiannya adalah jika siswa yang berada pada level bawah ( sebagai down line ) tuntas maka siswa yang berada pada level sedang dan level pandai ( sebagai up line ) berhak mendapatkan tambahan skor, jika siswa yang berada pada level sedang ( sebagai down line ) tuntas maka siswa yang berada pada level pandai ( sebagai up line ) berhak mendapatkan tambahan skor. Namun jika sebaliknya siswa yang berada pada level bawah atau sedang belum tuntas maka siswa yang berada pada level setingkat di atasnya memberikan bimbingan perbaikan.
Kelebihan mengevaluasi model evaluasi pada strategi belajar kooperatif berjenjang ini adalah:
Menumbuhkan motivasi dalam belajar sangat penting karena motivasi merupakan bagian integral untuk mencapai tujuan pembelajaran. Prayitno (1989) menyatakan bahwa betapapun baiknya potensi anak yang meliputi kemampuan intelektual atau materi yang akan diajarkan dan lengkapnya sarana belajar, namun bila siswa tidak termotivasi dalam belajar, maka belajar tidak akan berlangsung secara optimal. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik.
Prosedur Penelitian
Siklus I
Perencanaan ( Plane )
Perencanaan tindakan sebagai berikut:
1) Mengumpulkan data melalui observasi;
2) Menganalisa data;
3) Merumuskan langkah-langkah tindakan atau Rencana Program Pembelajaran ( RPP ).
Pelaksanaan Tndakan ( Action )
Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar;
2) Mengajukan permasalahan kepada siswa;
3) Membimbing siswa dalam kelompok belajar secara berjenjang.
Pengamatan ( Observasi )
1) Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar;
2) Mengajukan permasalahan kepada siswa;
3) Membimbing siswa dalam kelompok belajar secara berjenjang.
Pengamatan ( Observasi )
Pada siklus I terdiri dari 2 pertemuan. Yang menjadi fokus pengamatan pada pertemuan pertama adalah bagaimana sikap atau motivasi dan aktivitas siswa selama tahapan-tahapan proses belajarar kooperatif berjenjang berlangsung, terutama pada siswa yang berada pada level bawah dan level sedang. Sedangkan pada pertemuan kedua yang diamati bagaimana aktivitas belajar siswa dan evaluasi hasil belajarnya.
Hasil Penelitian Tindakan
Hasil penelitian tindakan pada siklus I yang penulis lakukan hasilnya masih belum menggembirakan. Hasil observasi di lapangan pada siklus pertama aktivitas belajar siswa mulai muncul meskipun belum maksimal yaitu hanya sekitar 55 %, prestasi belajar 51 %, sedangkan yang belajarnya tuntas hanya 10 orang atau 17 %.
Siklus II
Perencanaan ( Plane )
Rancangan tindakan pada siklus II ini adalah sebagai penyempurnaan siklus I, sebagai berikut:
1) Mengumpulkan data melalui observasi;
2) Menganalisa data;
3) Merumuskan langkah-langkah tindakan atau Rencana Program Pembelajaran ( RPP ), dan
4) Memberikan evaluasi dan Penilaian.
Pelaksanaan Tndakan ( Action )
Pelaksanaan tindakan pada siklus II ini yang dilakukan adalah:
1) Mengajukan permasalahan kepada siswa;
2) Memberikan treatment secara kaliskal;
3) Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar;
4) Mengevaluasi jalannya siswa dalam kelompok belajar secara berjenjang.
Pengamatan ( Observasi )
Pada siklus II yang diamati adalah bagaimana aktivitas siswa belajar selama tahapan-tahapan proses belajarar kooperatif berjenjang dan evaluasi hasil belajar.
Hasil Penelitian Tindakan
Hasil penelitian tindakan pada siklus II hasilnya sudah cukup menggembirakan, meskipun masih banyak kekurangan di sana-sini. Hasil observasi di lapangan pada siklus II aktivitas belajar siswa sudah mulai terorganisasi meskipun belum maksimal. Pada siklus kedua aktivitas belajar siswa mencapai 57 %, prestasi belajar 65 %, dan ketuntasan belajar mencapai 68 %.
Siklus III
Perencanaan ( Plane )
Rancangan tindakan pada siklus III ini pada prinsipnya sama dengan siklus II yaitu:
1) Mengumpulkan data melalui observasi;
2) Menganalisa data;
3) Merumuskan langkah-langkah tindakan atau Rencana Program Pembelajaran (RPP), dan
4) Memberikan evaluasi dan Penilaian.
Pelaksanaan Tndakan ( Action )
Pelaksanaan tindakan pada siklus III ini yang dilakukan adalah:
1) Mengajukan permasalahan kepada siswa;
2) Memberikan tugas untuk menyelesaikan permasalahan sesuai dengan kelompok belajar siswa yang telah terorganisasikan;
3) Mengevaluasi jalannya siswa dalam kelompok belajar secara berjenjang;
4) Mengevaluasi hasil atau prestasi belajar siswa.
Pengamatan ( Observasi )
Pada siklus III yang diamati adalah lebih kompklek dari siklus I dan siklus II, yaitu: bagaimana aktivitas siswa belajar selama tahapan-tahapan proses belajarar kooperatif berjenjang berlangsung dan hasil atau prestasi belajar siswa.
Hasil Penelitian Tindakan
Hasil penelitian tindakan pada siklus III hasilnya sudah bisa di rekomendasikan, yaitu pada siklus ketiga aktivitas belajar siswa mencapai 80 %, prestasi belajar 68 %, dan ketuntasan belajar mencapai 84 %.
Hasil tabulasi data dari siklus pertama haingga siklus ketiga ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Dimana aktivitas belajar siswa pada siklus kedua ada peningkatan sebesar 2 % dari siklus pertama dan pada siklus ketiga ada peningkatan sebasar 23 % dari siklus kedua. Prestasi atau hasil belajar siswa juga menunjukkan peningkatan. Pada siklus kedua ada peningkatan sebesar 14 % dari siklus pertama dan pada siklus ketiga ada peningkatan sebasar 3 % dari siklus kedua. Sedangkan ketuntasan belajar siswa pada siklus kedua ada peningkatan sebesar 15 % dari siklus pertama dan pada siklus ketiga ada peningkatan sebasar 16 % dari siklus kedua.
Peningkatan prosentase aktivitas dan prestasi belajar dari siklus pertama hingga siklus ketiga dapat diperhatikan pada diagram berikut ini.
Rekomendasi
Setelah memperhatikan analisa hasil penelitian tindakan kelas cukup memicu penulis untuk melakukan penelitian ulang pada kesempatan yang lain, dan dengan ini penulis merekomendasikan bahwa pembelajaran matematika SMP pada kelas heterogen dengan strategi belajar kooperatif berjenjang kiranya dapat dijadikan sebuah upaya alternatif untuk memperbaiki cara belajar siswa.
1) Mengajukan permasalahan kepada siswa;
2) Memberikan tugas untuk menyelesaikan permasalahan sesuai dengan kelompok belajar siswa yang telah terorganisasikan;
3) Mengevaluasi jalannya siswa dalam kelompok belajar secara berjenjang;
4) Mengevaluasi hasil atau prestasi belajar siswa.
Pengamatan ( Observasi )
Pada siklus III yang diamati adalah lebih kompklek dari siklus I dan siklus II, yaitu: bagaimana aktivitas siswa belajar selama tahapan-tahapan proses belajarar kooperatif berjenjang berlangsung dan hasil atau prestasi belajar siswa.
Hasil Penelitian Tindakan
Hasil penelitian tindakan pada siklus III hasilnya sudah bisa di rekomendasikan, yaitu pada siklus ketiga aktivitas belajar siswa mencapai 80 %, prestasi belajar 68 %, dan ketuntasan belajar mencapai 84 %.
Hasil tabulasi data dari siklus pertama haingga siklus ketiga ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Dimana aktivitas belajar siswa pada siklus kedua ada peningkatan sebesar 2 % dari siklus pertama dan pada siklus ketiga ada peningkatan sebasar 23 % dari siklus kedua. Prestasi atau hasil belajar siswa juga menunjukkan peningkatan. Pada siklus kedua ada peningkatan sebesar 14 % dari siklus pertama dan pada siklus ketiga ada peningkatan sebasar 3 % dari siklus kedua. Sedangkan ketuntasan belajar siswa pada siklus kedua ada peningkatan sebesar 15 % dari siklus pertama dan pada siklus ketiga ada peningkatan sebasar 16 % dari siklus kedua.
Peningkatan prosentase aktivitas dan prestasi belajar dari siklus pertama hingga siklus ketiga dapat diperhatikan pada diagram berikut ini.
Rekomendasi
Setelah memperhatikan analisa hasil penelitian tindakan kelas cukup memicu penulis untuk melakukan penelitian ulang pada kesempatan yang lain, dan dengan ini penulis merekomendasikan bahwa pembelajaran matematika SMP pada kelas heterogen dengan strategi belajar kooperatif berjenjang kiranya dapat dijadikan sebuah upaya alternatif untuk memperbaiki cara belajar siswa.
Kesimpulan
Dalam upaya meningkatkan efektifitas pembelajaran matematika di SMP seharusnya sudah waktunya untuk menggunakan strategi yang lebih inovatif dengan memilih atau menggabungkan serta mengembangkan berbagai macam strategi, metode, dan model pembelajaran yang lebih interaktif, mempermudah, menyenangkan, menantang, dan menggairahkan siswa untuk belajar. Karena keberhasilan seorang guru dalam membelajarkan siswanya tergantung dari seberapa baik ia belajar untuk menggunakan beragam strategi mengajarar dan seberapa baik ia memantau efek-efek dari ilmu pengetahuan terapan mengajarnya (Gene E. Hall; Linda F. Quinn; Donna M. Golnick).
DAFTAR RUJUKAN :
Abdullah, Solichan. 2003. Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika (Bahan Ajar Diklat Guru Matematika SLTP). Surabaya: BPG.
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyo. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Andrias Harefa. 1999. Multi Level Marketing Alternatif Karier dan Usaha Menyongsong Milenium Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Degeng, I Nyoman Sudana. 2007. Pembaharuan Paradigma Pembelajaran Dari Behavioristik ke Konstruktivistik. Makalah Orasi Ilmiah disajikan dalam Wisuda Program Pascasarjana, Sarjana & Diploma – II Universitas PGRI Adibuana Surabaya, 30 Juni 2007.
DePorter, Bobbi & Mike Hernakcki.1992. Quantum Learnig: Unleashing The Genius In You. New Yor: Dell Publishing. Alih bahasa oleh Abdurrahman, Alwiyah. 2003. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenagkan. Bandung: Mizan Pustaka.
Djamarah, Saiful Bahri dan Zain, Aswan. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Gene E. Hall; Linda F. Quinn; Donna M. Gollnick. 2008. Making a Difference in Student Learning. Alih bahasa oleh Soraya Ramli. Jakarta: Macanan Jaya Cemerlang.Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.Johnson, B. Elaine. 2002. Contextual Teaching and Learning: what it is and why its here to stay. California: Corwin Press, Inc. Diterjemah oleh: Ibnu Setiawan. 2007. Bandung: MLC
Peraturan Pemerintah No. 19 Th 2005. Tentang: Standar Pendidikan Nasioanal. Bandung: Citra Umbara.
Permendiknas No. 20 Th 2007. Tentang: Standar Penilaian Pendidikan Nasioanal.Prayitno, E. 1989. Motivasi Dalam Belajar. Jakarta: Depdikbud
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Samsuri, Isytamar. 2007. Membangun Learning Community Menuju Sekolah Berprestasi. Makalah disampaikan pada Workshop Lesson Study bagi guru MIPA SMP/MTs di Probolinggo.
Sardiman, A.M. 1988. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, E. Robert. 1994. A Practical Guide to Cooperative Learning. Allyn and Bacon. Disadur oleh: Muhamad Nur. 2003. Surabaya: LPMP Jawa Timur.
Suhardjono. 2007. Peran Teknologi Pembelajaran Dalam Usaha Peningkatan Kualitas Profesional Guru. Makalah Orasi Ilmiah Pada Acara Wisuda Program Magister Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adibuana di Garden Palace Hotel Surabaya pada tanggal 29 Maret 2008.
Suherman, Erman dan Winataputra, S. Udin. 1993:
Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka.
Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika: Jakarta : Universitas Terbuka.
Suparno, Paul. 1977. Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogjakarta: Kanisius.
Uno, B. Hamzah. 2007. Teori Motivasi dan Penguklurannya Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Berdasarkan latar belakang masalah tersbut di atas, pertanyaan permasalahan yang akan dijawab adalah: Dengan strategi apakah yang tepat untuk pembelajaran matematika pada siswa di kelas yang heterogen?
(4) Evaluasi dan Penghargaan
Evaluasi atau penilaian dan penghargaan adalah bagian integral dari pembelajaran yang harus diperhatikan secara seksama. Kapan harus dilakukan? Dan bagaimana caranya? Karena fakta di lapangan banyak guru yang semangat mengajar atau membelajarkan siswa serta baik cara penyampaiannya tetapi mempunyai permasalah tersendiri dalam mengevaluasi kemajuan belajar siswanya baik secara individual maupun secara kelompok.
Hal ini karena masih banyak rekan guru yang beranggapan bahwa evaluasi atau penilaian dilaksanakan harus secara klasikal dan dalam waktu yang bersamaan di dalam kelas. Padahal tehnik evaluaasi atau penilaian sangatlah beragam, namun pada prinsipnya evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan informasi guna menentukan kemajuan ( prestasi ) belajar siswanya sehingga harus memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui dan pahami, serta mendemonstrasikan kemampuannya. Pengumpulan informasi dapat dilakukan dalam suasana formal ataupun informal, di dalam dan di luar jam pelajaran baik melalui tes maupun non tes ( Solichan Abdullah, 2003 ). Apalagi pada umumnya keadaan siswa dalam satu kelas adalah heterogen, maka sangat memungkinkan guru melakukan evaluasi mencarai waktu yang tepat ( timing ) kesiapan siswa untuk dievaluasi dalam waktu yang berbeda-beda.
(a) Menumbuhkan motivasi siswa
Siswa yang berada pada level pandai akan lebih giat menguasai materi pelajaran agar dapat mempertahankan posisinya pada level pandai dan membimbimbing teman yang berada pada level sedang. Siswa yang berada pada level sedang juga akan semakin giat belajar karena ingin merubah posisinya berada pada level atas atau dapat membimbing siswa di level bawahnya. Sedangkan siswa yang berada pada level bawah akan berusaha untuk berubah posisi pada level di atasnya.
(b) Menghindari kesimpulan kelompok
Guru hendaknya menghindari kesimpulan kelompok berdasarkan rata-rata kelas. Karena jika hasil belajar diukur dari rata-rata kelas, maka akan terdapat sekelompok siswa dari kelompok bawah C ( bawah –pen.) yang tidak diperhatikan guru ( Isytamar Syamsuri, 2007 ).
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dengan menggunakan model Stephen Kemmis dan Robin Mc Taggart (1988), dimana Kegiatan Penelitian Tindakan menurut Kemmis dan Taggart terdiri dari empat tahap yang harus dilalui meliputi; (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi dalam suatu spiral yang terkait (Sukardi; 2007) sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut ini:
Unduh Lampiran
Dalam upaya meningkatkan efektifitas pembelajaran matematika di SMP seharusnya sudah waktunya untuk menggunakan strategi yang lebih inovatif dengan memilih atau menggabungkan serta mengembangkan berbagai macam strategi, metode, dan model pembelajaran yang lebih interaktif, mempermudah, menyenangkan, menantang, dan menggairahkan siswa untuk belajar. Karena keberhasilan seorang guru dalam membelajarkan siswanya tergantung dari seberapa baik ia belajar untuk menggunakan beragam strategi mengajarar dan seberapa baik ia memantau efek-efek dari ilmu pengetahuan terapan mengajarnya (Gene E. Hall; Linda F. Quinn; Donna M. Golnick).
DAFTAR RUJUKAN :
Abdullah, Solichan. 2003. Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika (Bahan Ajar Diklat Guru Matematika SLTP). Surabaya: BPG.
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyo. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Andrias Harefa. 1999. Multi Level Marketing Alternatif Karier dan Usaha Menyongsong Milenium Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Degeng, I Nyoman Sudana. 2007. Pembaharuan Paradigma Pembelajaran Dari Behavioristik ke Konstruktivistik. Makalah Orasi Ilmiah disajikan dalam Wisuda Program Pascasarjana, Sarjana & Diploma – II Universitas PGRI Adibuana Surabaya, 30 Juni 2007.
DePorter, Bobbi & Mike Hernakcki.1992. Quantum Learnig: Unleashing The Genius In You. New Yor: Dell Publishing. Alih bahasa oleh Abdurrahman, Alwiyah. 2003. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenagkan. Bandung: Mizan Pustaka.
Djamarah, Saiful Bahri dan Zain, Aswan. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Gene E. Hall; Linda F. Quinn; Donna M. Gollnick. 2008. Making a Difference in Student Learning. Alih bahasa oleh Soraya Ramli. Jakarta: Macanan Jaya Cemerlang.Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.Johnson, B. Elaine. 2002. Contextual Teaching and Learning: what it is and why its here to stay. California: Corwin Press, Inc. Diterjemah oleh: Ibnu Setiawan. 2007. Bandung: MLC
Peraturan Pemerintah No. 19 Th 2005. Tentang: Standar Pendidikan Nasioanal. Bandung: Citra Umbara.
Permendiknas No. 20 Th 2007. Tentang: Standar Penilaian Pendidikan Nasioanal.Prayitno, E. 1989. Motivasi Dalam Belajar. Jakarta: Depdikbud
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Samsuri, Isytamar. 2007. Membangun Learning Community Menuju Sekolah Berprestasi. Makalah disampaikan pada Workshop Lesson Study bagi guru MIPA SMP/MTs di Probolinggo.
Sardiman, A.M. 1988. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, E. Robert. 1994. A Practical Guide to Cooperative Learning. Allyn and Bacon. Disadur oleh: Muhamad Nur. 2003. Surabaya: LPMP Jawa Timur.
Suhardjono. 2007. Peran Teknologi Pembelajaran Dalam Usaha Peningkatan Kualitas Profesional Guru. Makalah Orasi Ilmiah Pada Acara Wisuda Program Magister Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adibuana di Garden Palace Hotel Surabaya pada tanggal 29 Maret 2008.
Suherman, Erman dan Winataputra, S. Udin. 1993:
Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka.
Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika: Jakarta : Universitas Terbuka.
Suparno, Paul. 1977. Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogjakarta: Kanisius.
Uno, B. Hamzah. 2007. Teori Motivasi dan Penguklurannya Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Berdasarkan latar belakang masalah tersbut di atas, pertanyaan permasalahan yang akan dijawab adalah: Dengan strategi apakah yang tepat untuk pembelajaran matematika pada siswa di kelas yang heterogen?
(4) Evaluasi dan Penghargaan
Evaluasi atau penilaian dan penghargaan adalah bagian integral dari pembelajaran yang harus diperhatikan secara seksama. Kapan harus dilakukan? Dan bagaimana caranya? Karena fakta di lapangan banyak guru yang semangat mengajar atau membelajarkan siswa serta baik cara penyampaiannya tetapi mempunyai permasalah tersendiri dalam mengevaluasi kemajuan belajar siswanya baik secara individual maupun secara kelompok.
Hal ini karena masih banyak rekan guru yang beranggapan bahwa evaluasi atau penilaian dilaksanakan harus secara klasikal dan dalam waktu yang bersamaan di dalam kelas. Padahal tehnik evaluaasi atau penilaian sangatlah beragam, namun pada prinsipnya evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan informasi guna menentukan kemajuan ( prestasi ) belajar siswanya sehingga harus memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui dan pahami, serta mendemonstrasikan kemampuannya. Pengumpulan informasi dapat dilakukan dalam suasana formal ataupun informal, di dalam dan di luar jam pelajaran baik melalui tes maupun non tes ( Solichan Abdullah, 2003 ). Apalagi pada umumnya keadaan siswa dalam satu kelas adalah heterogen, maka sangat memungkinkan guru melakukan evaluasi mencarai waktu yang tepat ( timing ) kesiapan siswa untuk dievaluasi dalam waktu yang berbeda-beda.
(a) Menumbuhkan motivasi siswa
Siswa yang berada pada level pandai akan lebih giat menguasai materi pelajaran agar dapat mempertahankan posisinya pada level pandai dan membimbimbing teman yang berada pada level sedang. Siswa yang berada pada level sedang juga akan semakin giat belajar karena ingin merubah posisinya berada pada level atas atau dapat membimbing siswa di level bawahnya. Sedangkan siswa yang berada pada level bawah akan berusaha untuk berubah posisi pada level di atasnya.
(b) Menghindari kesimpulan kelompok
Guru hendaknya menghindari kesimpulan kelompok berdasarkan rata-rata kelas. Karena jika hasil belajar diukur dari rata-rata kelas, maka akan terdapat sekelompok siswa dari kelompok bawah C ( bawah –pen.) yang tidak diperhatikan guru ( Isytamar Syamsuri, 2007 ).
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dengan menggunakan model Stephen Kemmis dan Robin Mc Taggart (1988), dimana Kegiatan Penelitian Tindakan menurut Kemmis dan Taggart terdiri dari empat tahap yang harus dilalui meliputi; (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi dalam suatu spiral yang terkait (Sukardi; 2007) sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut ini:
Unduh Lampiran
Bimtek Penilaian Angka Kredit Guru
Memberikan materi Penulisan Artikel Hasil Penelitian
dan Artikel Non Penelitian Untuk Pengembangan Profesi Guru, Kepala Sekolah, dan
Pengawas dalam acara Bimtek Penilaian Angka Kredit (PAK) Guru di Kota Pangkalan
Bun Kabupaten Kotawaringin Barat.
Friday, August 3, 2018
Peranan Kepala Sekolah Dalam Mewujudkan Visi Dan Misi Sekolah Menjadi Sebuah Aksi
(Artikel ini dimuat di Jurnal Ilmiah Inspirasi, LPMP Jawa Timur, Vol. II / No. 2 / Juli 2018)
Abstrak: Kemampuan dan keterampilan serta ketekunan seorang
kepala sekolah sangat berarti dalam mewujudkan visi dan misi suatu lembaga
sekolah. Bahkan maju dan mundurnya suatu lembaga sekolah yang tertuang dalam visi
dan misi sekolah sebagaian besar terletak pada
peran seorang kepala sekolah dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Untuk mewujudkan visi
dan misi sekolah menjadi sebuah aksi, kepala
sekolah harus mampu melaksanakan perannya sebagai edukator, manajer,
administrator, supervisor, innovator, motivator, figur dan mediator yang
dikemas dalam akronim EMASLIM–FM.
Kata
Kunci:Kepala sekolah dan visi misi sekolah
PENDAHULUAN
Sejak diterapkannya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekolah diharapkan dapat menentukan visi dan
misi sekolah yang akan dicapai dalam mengembangkan mutu pendidkan dan
memberikan standar pelayanan sekolah terhadap masyarakat (peserta didik) yang
ada di lingkungannya. Akan tetapi tidak jarang visi misi sekolah hanya tertuang
dalam bingkai pelengkap hiasan dinding, sementara warga sekolahnya tidak
memahami atau bahkan acuh tak acuh terhadap visi misi sekolahnya sehingga
perkembangan sekolah berjalan secara alami atau apa adanya. Padahal visi dan
misi sekolah diharapkan dapat menjadi aksi warga sekolah dalam rangka
pengembangan sekolah dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat (peserta
didik) di sekitarnya.
Sekolah
adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena
sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama
lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang sifat unik, menunjukkan
bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri–ciri tertentu yang tidak
dimiliki oleh organisasi yang lain (Wahjosumidjo, 2013: 81). Sekolah adalah suatu organisasi pendidikan formal merupakan
wadah kerjasama sekelompok orang (guru, staf, kepala sekolah, dan siswa) untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pencapaian tujuan sekolah sangat
tergantung pada orang–orang yang terhimpun dalam lembaga (sekolah) itu.
Keberhasilan sekolah banyak ditentukan oleh para guru yang ada di sekolah
tersebut, sedangkan guru itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, dan salah
satu faktor yang utama dan berperan penting adalah dimainkan kepala sekolah dan
kepemimpinannya yang dapat menentukan semangat (motivasi) tinggi rendahnya
kerja guru (Mantja, 2007: 5).
Betapa
penting peranan kepala sekolah dalam menggerakkan kehidupan sekolah mencapai
tujuan (Wahjosumidjo, 2013: 82) serta kemampuan
kepala sekolah dalam menjalankan roda kepemimpinannya guna menunjang sekolah dalam menggapai visi dan misi pendidikan (Mulyasa,
2009: 97).
Dengan demikian yang harus diperhatikan oleh seorang kepala sekolah dalam
meningkatkan kualitas sumber daya yang ada di sekolahnya, menurut Mantja
(2007:
59–60) sekurang–kurangnya ada 3 (tiga) aspek, yaitu: (1)Aspek
guru yang mencakup: kemapuan, latar belakang, pengalaman kerja, beban mengajar,
kondisi sosial ekonomi keluarga, motivasi kerja, komitmen terhadap tugas,
disiplin, dan kreatifitas. (2)Aspek pengelolaan mencakup: pengelolaan kelas,
pengelolaan guru, pengelolaan siswa, dan pengelolaan sarana prasarana, serta
pengelolaan keuangan sekolah. (3)Aspek proses belajar pembelajaran yang
mencakup: penampilan guru (performance),
penguasaan materi ajar/kurikulum, penguasaan metode mengajar, dan teknik
evaluasi, serta pelaksaan ekstra kurikuler.
Dalam hal ini seorang kepala
sekolah tidak hanya harus mampu melaksanakan pekerjaannya sebagai edukator,
manajer, administrator, dan supervisor, akan tetapi dalam perkembangannya
sesuai dengan tuntutan zaman kepala sekolah juga harus mampu bertindak sebagai
innovator dan motivator, bahkan harus mampu sebagai figur dan mediator yang
dikemas dalam akronim EMASLIM–FM (Mulyasa, 2009; 98).
Pertanyaan
masalahannya adalah, sejauhmana kepala sekolah sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, innovator, motivator, sebagai figur,
dan mediator
dalam mewujudkan visi dan misi sekolah menjadi sebuah aksi.
Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk memaparkan peranan kepala sekolah sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, innovator, motivator, sebagai figur, dan mediator dalam mewujudkan visi dan misi sekolah menjadi sebuah
aksi.
PEMBAHASAN
Kepala Sekolah sebagai Edukator (Pendidik)
Seorang kepala sekolah dalam
menjalankan fungsinya sebagai edukator harus memilih strategi yang tepat untuk
meningkatkan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan dan iklim yang
kondusif di sekolahnya (Mulyasa, 2009; 98). Untuk memahami arti pendidik tidak cukup berpegang pada konotasi yang
terkandung dalam definisi pendidik, melainkan mempelajari kerterkaitannya
dengan makna pendidikan, sarana pendidikan, dan bagaimana strategi pendidikan
itu dilaksanakan (Wahjosumidjo, 2013: 122). Untuk kepentingan tersebut sekurangnya ada empat macam
nilai yang harus ditanamkan oleh kepala sekolah kepada tenaga pendidik dan
kependidikan, yakni; pembinaan mental, moral, fisik, dan artistik. Pembinaan
mental; yaitu membina tenaga pendidik dan kependidikan tentang spitual atau
yang berkaitan dengan sikap batin dan watak sehingga setiap tenaga pendidik dan
kependidikan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik secara proporsional dan
professional. Pembinaan moral; yaitu membina tenaga pendidik dan kependidikan
tentang hal–hal yang yang berkenaan dengan ajaran luhur, ajaran baik dan buruk
mengenai suatu perbuatan, sikap, hak dan kewajiban sesuai dengan tupoksinya
masing-masing. Pembinaan fisik; yaitu membina tenaga pendidik dan kependidikan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani dan kesehatan secara
lahiriah. Pembinaan artistik; yaitu membina membina tenaga pendidik dan
kependidikan tentang kepedulian atau kepekaan sosial akan keindahan. Menurut Rohiat (2010 : 37), aspek kunci peran kepemimpinan dalam pendidikan adalah
memberdayakan para guru untuk memberi mereka kesempatan secara maksimum guna
mengembangkan belajar siswanya. Sebagaimana Sidi (2001: 24) menjelaskan, bahwa
membicarakan paradigma (pendidikan–pen),
visi dan metode pengajaran dengan sendirinya menuntut peningkatan dan
penyesuaian kulaitas SDM para pengelola, guru, juga pada akhirnya para siswa.
Sehingga mereka–para pengelola, guru, dan siswa–menjadi lebih aktif, kreatif,
mandiri dan berfikir problem solving.
Kepala Sekolah sebagai Manajer
Kepala
sekolah adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah
(Wahjosumidjo, 2013: 82) sehingga seorang kepala sekolah dalam rangka melakukan tugasnya sebagai seorang manajer
adalah pekerjaan manajemen yang pada hakekatnya suatu proses merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan, memimpin dan mengendalikan serta mengevaluasi.
Di sini kepala sekolah diharapkan memiliki strategi untuk memberdayakan tenaga
pendidik dan kependidikan secara kooperatif dan memberi kesempatan untuk
meningkatkan profesinya serta mendorong keterlibatannya dalam berbagai kegiatan
yang menunjang program sekolah (Mulyasa, 2009:
103). Memberdayakan tenaga kependidikan dalam arti meningkatkan profesionalismenya
di sekolah harus mementingkan kerja sama dengan tenaga kependidikan dan pihak
terkait lainnya dalam pelaksanaan kegiatan sekolah, dengan kata lain sebagai
manajer kapala sekolah harus mau dan mampu memberdayakan seluruh sumber daya
sekolah dalam rangka mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah secara
kooperatif. Sebagai manajer kepala sekolah harus bersikap demokratis, peka
terhadap keinginan bawahannya serta dapat melakukan persuasif secara tulus
ikhlas atau dari hati ke hati sehingga tenaga kependidikan yang ada di
sekolahnya dapat menyalurkan kemampuannya secara optimal demi kemajuan dan
pengemabangan sekolah. Mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan
adalah mendorong keterlibatan segenap unsur sekolah yang ada secara
partisipatif sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)–nya dengan berpedoman pada asas tujuan dan kemufakatan.
Mantja (2007:
57) menjelaskan; “salah satu tanggung jawab
kepala sekolah sebagai manajer sama halnya dengan semua manajer dalam
organisasi adalah mengembangkan sumber daya manusia yang menjadi tanggung jawab
manajemennya. Maka kepala sekolah perlu menyediakan waktu untuk memelihara
tugas kepemimpinan yang potensial, dan pengembangan tugas–tugas yang relevan dengan kematangan profesional para
anggotanya, dapat mengambil hati, dan memotivasi serta menghindarkan pertikaian–pertikaian”.
Seorang manajer
lebih menekankan pada pelaksanaan tugas melalui cara yang teratur dengan
prosedur yang jelas secara ketat menerapkan fungsi–fungsi manajemen dalam
mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan (Kristantoro, 2015: 26).
Menurut Usman (2009 dalam Wijaya, 2017: 16), substansi yang menjadi garapan
manajemen pendidikan sebagai proses atau disebut fungsi manajemen antara lain:
(1)perencanaan, (2)pengorganisasian, (3)pengarahan (motivasi, kekuasaan,
pengambilan keputusan, perubahan organisasi, komunikasi, koordinasi,
kepemimpinan, negosiasi, manajemen konflik, keterampilan antarpribadi,
membangun kepercayaan, penilaian kinerja, dan kepuasan kerja), serta
(4)pengendalian (pemantauan, penilaian, dan pelaporan).
Dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun
2007 ditetapkan kemampuan manajerial kepala sekolah meliputi; (1)Menyusun
perencanaan sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan.
(2)Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah sesuai dengan kebutuhan.
(3)Memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya
sekolah/madrasah secara optimal. (4)Mengelola perubahan dan pengembangan
sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif. (5)Menciptakan
budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran
peserta didik. (6)Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber
daya manusia secara optimal. (7)Mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah
dalam rangka pendayagunaan secara optimal. (8)Mengelola hubungan
sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber
belajar, dan pembiayaan sekolah/madrasah. (9 )Mengelola peserta didik dalam
rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas
peserta didik. (10)Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran
sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional.(11)Mengelola keuangan
sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan,
dan efisien. (12)Mengelola ketatausahaan sekolah/madrasah dalam mendukung
pencapaian tujuan sekolah/madrasah. (13)Mengelola unit layanan khusus
sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatanpembelajaran dan kegiatan peserta
didik disekolah/madrasah. (14)Mengelola sistem informasi sekolah/madrasahdalam
mendukung penyusunan program danpengambilan keputusan. (15)Memanfaatkan
kemajuan teknologi informasibagi peningkatan pembelajaran dan
manajemensekolah/madrasah. (16)Melakukan monitoring, evaluasi, dan
pelaporanpelaksanaan program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang
tepat, sertamerencanakan tindak lanjutnya.
Kepala Sekolah sebagai Administrator
Peran kepala sekolah sebagai
administrator pendidikan bertanggungjawab terhadap kelancaran pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran di sekolahnya. Oleh karenanya, untuk dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, kepala sekolah hendaknya memahami,
menguasai, dan mampu melaksanakan kegiatan–kegiatan
yang berkenaan dengan fungsinya sebagai administrator pendidikan (Purwanto,
2009; 106). Fungsi kepala sekolah sebagai administrator erat kaitannya dengan
tugas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan dan
pendokumentasian seluruh program sekolah. Kepala sekolah harus memiliki
kemampuan untuk mengelola kurikulum, mengelola administrasi kesiswaan,
mengelola administrasi personalia, mengelola administrasi sarana dan prasarana,
mengelola administrasi kearsipan, dan mengelola administrasi keuangan secara
efektif dan efesien agar dapat menunjang produktifitas sekolah sehingga visi
dan misi sekolah tercapai.
Kepala Sekolah sebagai Supervisor
Inti dari kegiatan pendidikan di
sekolah dalam rangka mewujudkan visi misinya adalah kegiatan pembelajaran,
sehingga seluruh aktifitas dan efektifitas organisasi sekolah bermuara pada
pencapaian efisiensi dan efektifitas pembelajaran. Maka dari itu peran sebagai
supervisor adalah menuntut kemampuan kepala sekolah untuk
melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja
tenaga kependidikan sebagai kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah lebih
terarah pada tujuan yang telah ditetapkan dan sebagai pencegahan (preventif)
agar tidak ada penyimpangan dari semua pihak dan lebih hati–hati dalam melaksanakan pekerjaannya. Supervisi adalah
segala bantuan (pendampingan) dari kepala sekolah yang tertuju kepada
perkembangan kepemimpinan guru–guru dan personel
sekolah lainnya didalam mencapai tujuan pendidikan yang berupa dorongan,
bimbingan, dan pemberian kesempatan bagi pertumbuhan keahlian guru–guru dalam mengembangkan kesanggupan–kesanggupan mereka secara maksimal (Purwanto, 2009; 73–76). Salah satu fungsi supervisi kepala sekolah harus bisa
membantu menyelesaikan
masalah–masalah
yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugasnya baik masalah yang bersifat umum
maupun khusus. Masalah umum yang dihadapi guru dalam tugas mengajar dan
mendidik biasanya menterjemahkan kurikulum dari pusat ke dalam bahasa
pembelajaran yang meliputi; merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran
serta mengevaluasi hasil belajar siswa. Sedangkan masalah khusus yang dihadapi
guru dalam tugas mengajar dan mendidik biasanya kesulitan dalam menyampaikan
materi pembelajaran yang komunikatif dan permasalahan pribadi yang sampai
mempengaruhi tugas guru (personal problem)
(Sahertian, 2008;130–162). Sebagai supervisor kepala
sekolah diharapkan mengenal karakteristik dan potensi profesional tenaga
kependidikan yang ada di sekolahnya. Glikman dalam Sahertian (2008;44-45)
mengemukakan dua kemampuan dasar setiap guru, yaitu; kemampuan berpikir abstrak
serta kemampuan komitmen dan kepedulian yang teraktualisasi pada phenomena empat paradigma prototipe
guru, yaitu; (1)Guru yang memiliki daya abstrak rendah dan komitmen rendah,
yaitu guru yang tidak bermutu. (2)Guru yang memiliki daya abstrak rendah tetapi
komitmen tinggi, guru yang memiliki prototipe seperti ini biasanya guru yang
terlalu sibuk. (3)Guru yang memiliki daya abstrak tinggi tetapi komitmen
rendah, yaitu guru yang begini biasanya menjadi guru tukang kritik, dan (4)Guru
yang memiliki daya abstrak tinggi dan komitmen tinggi, guru yang begini yang
dinamakan guru profesional. Setelah mengenal karakteristik dan potensi
profesional bawahannya kepala sekolah melaksanakan kompetensi supervisi yang
telah ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 meliputi; (1)Merencanakan
program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
(2)Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan
dan teknik supervisi yang tepat. (3)Menindaklanjuti hasil supervisi akademik
terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Kepala Sekolah sebagai Leader
Pola prilaku kepemimpinan berbeda–beda sesuai dengan situasi yang ada. Ada prilaku pemimpin yang cenderung mengarahkan (direktif) selalu memberi petunjuk kepada bawahan, dan ada pula pemimpin yang cenderung memberikan dukungan (suportif) Wahjosumidjo (2013: 31). Dalam situasi tertentu pola prilaku kepempinan merupakan gabungan dari keduanya yang dapat digambarkan dalam empat pola kecenderungan: (1)arahan tinggi, dukungan tinggi; (2)arahan tinggi, dukungan rendah; (3)arahan rendah, dukungan tinggi; dan (4)arahan rendah, dukungan rendah.
Sebagai seorang kepala sekolah harus memahami situasi dan kondisi, kapan dan dimana melaksanakan tugasnya sehingga pola yang mana yang tepat untuk diterapkannya. Wahjosumidjo (2013: 110) mengemukakan bahwa peran kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan profesional, serta pengetahuan administrasi dan pengawasan. Selanjutnya Mulyasa, 2009: 115–117) menjelaskan kemampuan kepala sekolah sebagai leader dapat dianalisis dari kepribadian, pengetahuan terhadap tenaga kependidikan, visi dan misi sekolah, kemampuan mengambil keputusan, dan kemampuan berkomunikasi. Kepribadian kepala sekolah sebagai leader akan tercermin dalam sifat–sifat: (1)jujur, (2)percaya diri, (3)tanggung jawab, (4)berani mengambil resiko dan keputusan, (5)berjiwa besar, (6)emosi yang stabil, (7)teladan. Adapun 6 (enam) kompetensi kepribadian dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007, meliputi; (1)Berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah. (2)Memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin. (3)Memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah/madrasah. (4)Bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi. (5)Mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah/madrasah. (6)Memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan. Pengetahun kepala sekolah terhadap tenaga kependidikan akan tercermin dalam kemampuan; (1)memahami kondisi tenaga kependidikan, (2)memahami kondisi dan karakteristik peserta didik, (3)menyusun program pengembangan tenaga pendidik, (4)menerima kritik dan saran dari berbagai pihak untuk meningkatkan kepemimpinannya. Kemampuan kepala sekolah dalam mengambil keputusan akan tercermin dari kemampuannya dalam; (1)mengambil keputusan bersama, (2)mengambil keputusan untuk kepentingan internal sekolah, dan (3)mengambil keputusan untuk kepentingan eksternal sekolah. Kemampuan kepala sekolah dalam berkomunikasi akan tercermin dari kemampuannya untuk; (1)berkomunikasi secara lisan dengan tenaga kependidikan di sekolah, (2)menuangkan gagasan dalam bentuk lisan dan tulisan, (3)berkomunikasi secara lisan dengan peserta didik, (4)berkomunikasi secara lisan dengan orang tua/wali murid dan masyrakat sekitar lingkungan sekolah.
Sebagai kepala sekolah harus bisa menerapkan kepemimpina spiritual. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada diminesi spiritual (keilahian). Kepemimpina spiritual adalah kepemimpinan yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan menggerakkan melalui keteladanan, pelayanan, kasih sayang dan implementasi nilai dan sifat–sifat ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya, dan prilaku kepemimpinan (LPMP Provinsi Jawa Timur, 2013: 21).
Kepala Sekolah sebagai Innovator
Peran sebagai innovator maksudnya
seorang kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin
hubungan yang harmonis dengan lingkungannya, mencari gagasan baru,
mengintegrasikan setiap gagasan baru, dan memberikan teladan serta
mengembangkan model–model pembelajaran yang inovatif.
Sebagai innovator akan tercermin dari cara–cara
dalam melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif,
integratif, rasional dan objektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta
adaptabel dan fleksibel (Mulyasa, 2009: 118). Konstruktif
artinya berusaha memberi spirit pada tenaga kependidikan agar dalam
melaksanakan tugas profesionalismenya dapat berkembang secara optimal. Kreatif
artinya dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah yaitu
senantiasa mencari gagasan dan cara–cara yang uptodate. Delegatif maksudnya
mendelegasikan tugas kepada tenaga kependidikan disesuaikan dengan kemampuannya
dan diskripsi tugas (job discription). Integratif maksudnya
mengintegrasikan semua kegiatan sehingga menghasilkan sinergi untuk mencapai
tujuan sekolah secara efektif, efisien, dan produktif. Rasional dan objektif di
sini dimaksudkan seorang kepala sekolah harus berusaha bertindak dengan
pertimbangan rasio dan objektif. Pragmatis artinya dalam meningkatkan
profesionalisme tenaga kependidikan di sekoah hendaknya berusaha menetapkan
target (skala prioritas) berdasarkan kondisi dan kemampuan nyata yang dimiliki
oleh sekolah dan tenaga kependidikan. Keteladanan dan disiplin adalah kepala
sekolah dalam melaksanakan tugasnya hendaknya memberi contoh yang baik dan
disiplin dalam perkataan dan perbuatan. Adaptabel dan fleksibel artinya kepala
sekolah harus bisa beradaptasi dan fleksibel dalam menghadapi situasi atau
keadaan yang baru.
Kepala Sekolah sebagai Motivator
Peran kepala sekolah sebagai
motivator adalah peran yang teramat penting dalam menjakankan tugas
kepemimpinannya, bahkan boleh dikata peran kepala sekolah sebagai motivator
dapat menentukan berhasil atau gagalnya seseorang dalam
mengemban tugas sebagai kepala sekolah. Karena bagaimanapun kepiawaian kepala
sekolah menyusun visi dan program pengembangan yang hebat tetapi jika tidak
dapat menggerakkan atau memotivasi tenaga kependidikan yang ada di sekolahnya
maka visi dan
misi serta program
yang baik hanya akan menjadi pelengkap administrasi belaka atau tidak dapat
menjadi aksi warga sekolahnya.
Sebagai motivator kepala sekolah
harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi kepada para tenaga
kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan fungsinya. Salah satu faktor
yang sangat dominan dan dapat menggerakkan faktor–faktor
lain ke arah efektifitas kerja yang akan menentukan keberhasilan suatu
organisasi atau lembaga sekolah adalah motivasi, karena tanpa, motivasi tidak
ada kegiatan yang nyata. Tenaga kependidikan yang ada di sekolah memiliki
karakteristik yang berbeda antara satu sama yang lain. Perbedaan karakteristik
termasuk di dalamnya adalah perbedaan motivasi.Tidak jarang ditemukan guru yang
kurang memiliki gairah dalam melakukan tugasnya karena kurangnya motivasi yang
mengakibatkan kurang berhasilnya tujuan sekolah (Uno, 2007: 63).
Oleh karena itu untuk meningkatkan produktifitas kerja guru, perlu diperhatikan
perbedaan motivasinya dan faktor–faktor yang
mempengaruhinya (Mulyasa, 2009:143). Motivasi sebagai
konsep yang dapat digunakan ketika menggerakkan individu untuk memulai dan
berprilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki pimpinan. Dalam kaitannya kepala
sekolah sebagai motivator yang ingin menggerakkan tenaga kependidikan di
sekolahnya untuk mengerjakan tugasnya, haruslah mampu memotivasi tenaga
kependidikan tersebut sehingga memusatkan seluruh tenaga dan perhatiannya untuk
mencapai hasil yang telah ditetapkan (Gibson dkk. dalam
Uno, 2007: 64). Manusia akan bekerja secara
produktif apabila ia memiliki motivasi dan merasa puas dalam melakukan
pekerjaannya (Wijaya, 2017: 15).
Penghargaan (rewards) merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan motivasi.
Penghargaan (rewards) sangat penting
untuk meningkatkan produktivitas kerja dan untuk mengurangi kegiatan yang
kurang produktif. Melalui penghargaan (rewards)
ini tenaga kependidikan dirangsang untuk meningkatkan kinerja yang positif dan
produktif. Penghargaan akan bermakna bila dikaitkan dengan prestasinya secara
terbuka, sehingga setiap tenaga kependidikan memiliki peluang untuk meraihnya.
Penggunaan penghargaan ini perlu dilakukan secara tepat, efektif, dan efisien,
agar tidak menimbulkan dampak negatif (Mulyasa, 2009:151).
Kepala Sekolah Figur dan Mediator
Peran sebagai figur dan mediator
sangat diperlukan bagi seorang kepala sekolah dalam mengemban tugas
kepemimpinannya baik di dalam sekolah maupun di lingkungan sekolahnya. Karena
kepala sekolah dijadikan teladan atau kiblat dalam aktualisasi visi
pengembangan sekolah. Sekolah berada dalam masyarakat dan untuk masyarakat.
Program sekolah akan dapat berjalan dengan baik bila ada dukungan dari
masyarakat. Tidak jarang program pengembangan sekolah mengalami komuikasi yang
gagal antara sekolah dan masyarakat, bahkan antara tenaga kependidikan dan
siswanya. Di sini diperlukan peranan kepala sekolah untuk menjalankan fungsinya
sebagai mediator untuk mengkomunikan program sekolah antara tenaga
kependidikan, siswa, orang tua, dan masyarakat. Sekolah perlu memberikan
informasi kepada masyarakat mengenai program dan masalah–masalah yang dihadapi, agar masyarakat mengetahui dan
memahami masalah yang dihadapi.
KESIMPULAN
Dalam mewujudkan visi dan misi pada
sebuah sekolah dibutuhkan seorang kepala sekolah yang
memiliki jiwa kpemimpinan dan keteladanan serta kemampuan melaksanakan tugas
dan fungsinya sebagai edukator, manajer, administrator, dan supervisor,
innovator, motivator, dan figur, serta sebagai mediator yang dikemas dalam
akronim EMASLIM–FM. Untuk dapat memenuhi tuntuan tugas kepala sekolah tersebut
sebagimana dalam Pedoman Penilaian Kinerja Guru (PK Guru) buku 2 kompetensi
seorang guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah sekurang–kurang memiliki 6 kompetensi, yaitu:
1)Kepribadian dan Sosial, 2)Kepemimpinan,
3)Pengembangan Sekolah/Madrasah, 4)Pengelolaan Sumber Daya, 5)Kewirausahaan,
dan 6)Supervisi Pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan
Tenaga Kependidikan. 2016. Pedoman
Penilaian Kinerja Guru (Buku–2).
Kristantoro, Heri. 2015. Enterpreneurship Kepala Sekolah. Sala Tiga:
Griya Media.
LPMP Provinsi Jawa Timur. 2013. Spiritual Leadership. Surabaya: LPMP
Provinsi Jawa Timur.
Mantja, W. 2007. Profesionalisme
Tenaga Kependidikan: Manajemen
Pendidkan dan Supervisi Pendidikan. Malang: Elang Mas.
Mulyasa, E. 2009. Menjadi
Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Permendiknas RI Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.
Permendiknas RI Nomor 28 Tahun 2010 Tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah.
Purwanto, Ngalim. 2009. Administrasi
dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sahertian, A. Piet. 2008. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan
Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sidi, Indrajati. 2001. Menuju
Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Pendidikan. Jakarta: Paramadina.
Uno, B. Hamzah. 2007. Teori
Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Wahjosumidjo. 2013. Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan
Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wijaya, David. 2017. Manajemen Pendidikan Kontemporer.
Yogjakarta: Pustaka Pelajar..
Subscribe to:
Posts (Atom)